Rabu, 20 November 2013

TEORI PENDUKUNG PEMBELAJARAN CTL



Sesuai dengan prinsip dari model CTL maka teori – teori pendukung yang sesuai untuk penerapan CTL dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :

A. Teori Piaget
            Menurut Piaget, manusia tumbuh beradaptasi ,dan berubah melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan sosio-emosional, dan perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif  sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Ada tiga aspek perkembangan intelektual yaitu : struktur, isi, dan fungsi. Struktur atau skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi. Sedangkan fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan – kemajuan intelektual. Fungsi itu sendiri terdiri dari organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan organisme kemampuan untuk meng – organisasi proses – proses fisik atau proses – proses psikologi menjadi system – system yang teratur dan berhubungan.
Fungsi kedua yang melandasi perkembangan itelektual adalah adaptasi. Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan mereka. Cara beradaptasi ini berbeda antara organisme yang satu dengan yang lainnya. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses , yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang mengunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menangulangi masalah yang dihadapi dalam lingkungannya. Sedangkan dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respon terhadap tantangan lingkungannya.
Piaget mengemukakan dalam teorinya bahwa kemampuan kognitif manusia berkembang menurut empat tahap, dari lahir sampai dewasa. Tahap – tahap itu beserta urutannya  berlaku untuk semua orang, akan tetapi usia pada saat seseorang mulai memasuki sesuatu tahapan tertentu tidak selalu sama untuk setiap orang. Keempat tahap tersebut adalah :

1. Tahap sensori motor ( sensory motor stage) :
            Tahap sensori motor berlangsung sejak manusia lahir sampai berusia sekitar 2 tahun. Pada tahap ini pemahaman anak tentang berbagai hal bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh beserta alat – alat indera. Sebagai contoh, pada tahap ini anak tahu bahwa didekatnya ada sesuatu barang mainan kalau ia menyentuh barang itu. Pada tahap ini tanpa mengunakan kegiatan tubuh atau indera anak belum bisa memahami sesuatu.

2. Tahap pra – operasional (pre – operational stage):
            Tahap pra – operasional berlangsung kira- kira usia 2 tahun sampai 7 tahun. Pada tahap ini, dalam memahami sesuatu siswa tidak lagi hanya bergantung kepada kegiatan. (gerakan) tubuh yang inderanya, dalam arti, anak sudah mengunakan pemikirannya dalam berbagai hal. Akan tetapi, pada tahap ini pemikiran anak masih bersifat egosentris, artinya pemahamannya mengenai berbagai hal masih terpusat pada dirinya  sendiri. Pada tahap ini anak berpikir bahwa  orang – orang mempunyai pemikiran dan perasaan seperti yang ia alami. Dengan kata lain, pada tahap ini anak belum bisa berpikir secara obyektif, lepas darinya sendiri.
Pada tahap ini anak masih kesulitan dalam melakukan pembalikan pemikiran (reversing thought). Juga pada tahap ini anak masih mengalami kesulitan dalam berpikir secara induktif ataupun deduktif, tetapi pada tahap ini anak cenderung berpikir transduktif (dari hal khusus ke hal khusus yang lain), sehingga cara berpikirnya belum tampak logis.


3. Tahap operasi kongkret (concrete – operational stage)
            Tahap ini berlangsung kira – kira dari usia 7 sampai 12 tahun. Pada tahap ini tingkat egosentris anak sudah berkurang, dalam arti bahwa anak sudah dapat memahami bahwa orang lain mungkin memiliki pikiran atau perasaan yang berbeda darinya. Dengan kata lain, anak sudah bisa berpikir secara obyektif. Pada tahap ini anak sudah dapat berpikir logis tentang berbagai hal, termasuk hal yang rumit, tetapi dengan syarat bahwa hal – hal tersebut disajikan secara kongkret  (disajikan dalam wujud yang bisa ditangkap dengan panca indera). Tanpa adanya benda – benda kongkret, anak akan mengalami kesulitan dalam memahami banyak hal dan dalam  berpikir logis. Sehingga, untuk anak yang  berada pada tahap ini, pengajaran lebih ditekankan pada hal – hal yang bersifat verbal.

4. Tahap  operasi formal ( formal operation stage)
            Tahap ini berlangsung kira- kira sejak usia 12 tahun ke atas. Pada tahap ini anak atau orang sudah mampu berpikir secara logis tanpa kehadiran benda – benda kongkret, dengan kata lain anak sudah mampu melakukan abstraksi. Akan tetapi, perkembangan dari tahap operasi kongkret ke tahap ini tidak terjadi secara mendadak ataupun berlangsung sempurna, tetapi terjadi secara gradual. Sehingga bisa terjadi tahun – tahun pertama ketika sianak berada tahap ini, kemampuan anak dalam berpikir secara abstrak masih belum berkembang sepenuhnya, sehingga dalam  berbagai hal  si anak mungkin masih memerlukan bantuan alat peraga.
            Di samping itu ada cukup banyak anak yang memasuki tahap ini  lebih lambat dari pada anak yang lainnya. Dengan demikian ada kemungkinan, sekalipun anak sudah berada pada bangku SMP, perkembangan kemampuan berpikirnya masih berada pada tahap operasi kongkret. Untuk anak yang seperti ini, pembelajaran yang hanya menekankan pada simbol – simbol dan hal – hal yang bersifat verbal akan sulit dipahami. Oleh karena itu guru perlu memperhatikan secara seksama kemampuan berpikir tiap - tiap siswa, sekalipun usia mereka relatif sama, agar guru bisa memberikan perlakuan yang sesuai dengan tahap perkembangan berpikirnya.
Teori Piaget menjelaskan  bahwa perkembangan kemampuan intelektual manusia terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti:
  1. kematangan (maturation), yaitu pertumbuhan otak dan system syaraf manusia karena bertambahnya usia, dari lahir sampai dewasa.
  2. Pengalaman (experience), yang terdiri dari :
    1. Pengalaman fisik, yaitu interaksi manusia dengan objek – obyek di lingkungannya.
    2. Pengalaman logika-matematis, yaitu kegiatan – kegiatan pikiran yang dilakukan manusia yang bersangkutan.
    3. Transmisi sosial, yaitu interaksi dan kerja sama yang dilakukan oleh manusia dengan manusia lainnya.
    4. Penyeimbangan (equilibration), yaitu proses struktur mental (struktur kognitif). Manusia kehilangan keseimbangan sebagai akibat dari adanya pengalaman – pengalaman atau pembelajaran – pembelajaran baru, kemudian berusaha untuk menuju keseimbangan – keseimbangan baru dengan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses dimana informasi – informasi dan pengalaman – pengalaman baru “diserap” (dimasukan) ke dalam struktur kognitif manusia. Sedangkan akomodasi adalah penyesuaian pada struktur  kognitif manusia sebagai akibat dari adanya informasi – informasi dan pengalaman – pengalaman baru yang diserap.
Adaptasi merupakan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Jika proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi, maka terjadi ketidakseimbangan (dis equilli-brium), akibat ketidakseimbangan ini terjadi akomodasi, dan struktur yang ada mengalami perubahan atau timbul struktur baru, barulah terjadi equilibrium. Setelah terjadi equilibrium, seseorang berada pada tingkat kognitif yang  lebih tinggi dari sebelumnya dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Pemanfaat teori Piaget dalam proses pembelajaran di sekolah dapat dilihat pada pernyataan dibawah ini :
1.        Memusatkan pada proses berpikir atau proses mental. dan bukan sekedar pada hasilnya. Disamping  kebenaran siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban itu.
2.        Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam pembelajaran. Di dalam kelas, penyajian pengetahuan jadi (ready made) tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungannya.
3.        Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan ini berlangsung pada kecepatan yang berbeda.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan  bahwa kegiatan pembelajaran itu memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, yang tidak hanya sekedar kepada hasilnya, mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran, dan memaklumi perbedaan individu dalam hal kemajuan perkembangannya.

Selasa, 19 November 2013

math



Menurut Piaget (dalam Dahar, 1996, h.152), ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis (menurut usia kalender):
1.      Tahap Sensori Motori
Tahap sensori motori terjadi pada anak usia antara 0-2 tahun. Pada tahap ini kemampuan berfikir anak digunakan untuk mengatur sendiri dunianya dengan  menggunakan indera-indera (baik sensoris maupun motoris) yang dimilikinya. Misalnya anak berusaha untuk mengetahui dan memaknai apa yang mereka lihat dan apa yang mereka rasakan.
2.      Tahap Pra-operasional
11
 
Tahap Pra-operasional terjadi pada anak usia antara 2-7 tahun. Tahap Pra-operasional  terbagi menjadi dua sub tingkat yaitu antara 2-4 tahun disebut sub tingkat pra logis dan antara 4-7 tahun disebut sub tingkat berfikir intuitif. Anak yang berada pada tahap ini cenderung berfikir yang disertai dengan sikap egosentris.
3.      Tahap Operasi Konkrit 
Tahap operasi konkrit terjadi pada anak usia 7-11 tahun. Tahap ini merupakan permulaan berfikir rasional. Anak sudah memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkan pada masalah-masalah yang kongkrit. Selain itu pada tahap ini anak sudah dapat membedakan dan  menyusun benda-benda secara seri berdasarkan ukurannya.
4.      Tahap Operasi Formal
Tahap ini terjadi pada anak kira-kira 11 tahun ke atas. Tahap operasi formal dianggap sebagai tahap berfikir yang paling tinggi, karena pada tahap ini anak sudah dapat menggunakan operasi-operasi kongkrit untuk membentuk operasi yang lebih kompleks. Pada tahap ini anak sudah dapat menggunakan kemampuan berfikirnya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih abstrak yang membutuhkan penalaran.
Berdasarkan tahap-tahap perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget di atas, kemampuan berfikir pada manusia sudah dimiliki sejak manusia dilahirkan. Perkembangan kemampuan berfikir pada  manusia terus berkembang mulai sejak lahir sampai mereka dewasa. Oleh karena itu untuk pembentukan kemampuan berfikir secara optimal pada manusia harus dimulai sejak dini.
Pada jenjang pendidikan formal, matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat melatih dan mendisiplinkan kebiasaan siswa. Dengan matematika diharapkan siswa dapat meningkatkan kemampuan bernalarnya, sehingga mereka terlatih menggunakan kemampuan bernalarnya untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Locke (dalam Miranti, 2004) bahwa matematika merupakan sarana untuk menanamkan kebiasaan bernalar di dalam pikiran orang. Anak yang senang melakukan matematika, kemampuan bernalarnya akan terlatih dengan baik.
Menurut NCTM (1989), tujuan pembelajaran matematika di sekolah untuk kelas 5 sampai kelas 9 adalah sebagai berikut:
1)  Meyakinkan siswa bahwa matematika merupakan pelajaran  yang  menarik dan bermakna, bukan pelajaran yang membingungkan, abstrak, tidak masuk akal dan membosankan;
2) Pembelajaran matematika diharapkan dapat meningkatkan kepekaan siswa terhadap daya matematika (power of mathematics); dan
3) Pembelajaran matematika dapat meningkatkan kepercayaan siswa akan kemampuannya dalam berfikir.
Oleh karena itu untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah, guru harus memperhatikan pada 5 aspek pengajaran matematika (dalam NCTM, 2000), yaitu:
  1. koneksi (connections)
  2. penalaran (reasoning)
  3. komunikasi (communications)
  4. pemecahan masalah (problem solving)
  5. representasi (representation)
Matematika merupakan penalaran (NCTM, 1989, h.29). Artinya jika seseorang mengerjakan matematika maka ia tidak terlepas dari aktivitas bernalar. Setiap penyelesaian persoalan dalam matematika memerlukan penalaran.
Penalaran atau logika merupakan bagian terpenting dalam matematika. Penalaran atau reasoning merupakan proses berfikir yang dilakukan untuk menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan sumber yang relevan.
Pembelajaran matematika yang dapat melatih kemampuan bernalar siswa sebaiknya mulai diperkenalkan sejak dini, karena  akan memberikan keuntungan pada pembelajaran matematika di masa yang akan datang.  Sebagaimana dijelaskan dalam NCTM  (1989, h.29), bahwa  penalaran dalam pembelajaran  matematika dapat dimulai sejak TK sampai SD kelas 4 (level K-4), meskipun penalaran yang diberikan hanya berupa kemampuan berfikir informal, membuat konjektur dan validasi. Namun penalaran yang diberikan pada tingkat ini diharapkan dapat membantu  siswa untuk menyadari bahwa matematika itu berguna bagi dirinya.
Baroody (dalam Dahlan, 2004, h.24) menyatakan bahwa terdapat beberapa keuntungan apabila siswa diperkenalkan dengan penalaran yaitu:
1.      Jika siswa diberi kesempatan untuk menggunakan keterampilan bernalarnya dalam melakukan pendugaan-pendugaan berdasarkan pengalamannya sendiri maka siswa akan lebih mudah memahaminya. Misalnya siswa diberikan permasalahan dengan menggunakan benda-benda nyata, siswa diminta untuk melihat pola, mereformulasikan dugaan tentang pola yang sudah diketahui dan mengevaluasinya sehingga hasil yang diperolehnya bersifat lebih informatif. Hal ini akan lebih membantu siswa dalam memahami proses yang telah disiapkan dengan cara doing mathematics dan eksplorasi matematika.
2.      Jika siswa dituntut untuk menggunakan kemampuan bernalarnya, maka akan mendorong mereka untuk melakukan guessing atau dugaan-dugaan. Hal ini akan menimbulkan  rasa percaya diri dan menghilangkan rasa takut salah pada diri siswa ketika siswa diminta  untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.
3.      Membantu siswa untuk memahami nilai balikan yang negatif (negative feedback) dalam memutuskan suatu jawaban. Artinya bahwa siswa perlu memahami bahwa tebakan yang salah dapat menghilangkan kemungkinan yang pasti dengan berbagai pertimbangan lebih jauh dan dapat melihat informasi yang sangat bernilai (invaluable/extremely valuable). Anak juga perlu menghargai bahwa keefektifan dari suatu tebakan tergantung pada banyaknya kemungkinan yang dapat dihilangkan.
4.      Secara khusus, dalam matematika anak harus memahami bahwa penalaran intuisi, penalaran induktif (pendugaan) dan penalaran deduktif (pembuktian logis) memainkan peranan yang penting. Mereka harus menyadari atau dibuat sadar bahwa intuisi merupakan dasar untuk kemampuan tingkat tinggi dalam matematika dan juga ilmu pengetahuan lainnya. Siswa  juga harus dibantu untuk dapat memahami bahwa intuisi diperlukan secara substantif dalam membuat contoh, mengumpulkan data dan dalam menggunakan logika deduktif. Selain itu siswa juga perlu untuk memahami bahwa penemuan pola dari berbagai contoh yang luas selalu terdapat suatu pengecualian sehingga dapat dijustifikasi suatu pola dan pada akhirnya dapat dibuktikan secara deduktif.
Metode-metode baru dalam pembelajaran matematika pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan bernalar siswa dalam matematika. Sebagaimana diungkapkan pada NCTM (dalam Dahlan, 2004, h.10) bahwa tugas yang harus diberikan dalam matematika adalah tugas yang mampu membuat siswa berpartisipasi aktif, mendorong perkembangan intelektual siswa, mengembangkan pemahaman dan keterampilan matematika, dapat menstimulasi siswa, menyusun hubungan dan mengembangkan tata kerja ide matematika, mendorong untuk memformulasikan masalah, pemecahan masalah dan penalaran matematika, memajukan komunikasi matematika, menggambarkan matematika sebagai aktivitas manusia serta mendorong dan mengembangkan keinginan siswa mengerjakan matematika.
Salah satu bahan kajian matematika berdasarkan standar kompetensi yaitu siswa dapat menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
Menurut NCTM (1989, h.81), kurikulum matematika di kelas 5-8 harus memperhatikan aspek penalarannya sehingga siswa dapat:
1.   mengenal dan menerapkan penalaran induktif dan deduktif;
2.  memahami dan menggunakan proses penalaran dengan perhatian khusus pada penalaran keruangan serta penalaran dengan proporsi dan grafik;
3.   membuat dan mengevaluasi konjektur dan argumentasi matematika;
4.   memvalidasi fikiran mereka sendiri;
5.  menghargai  manfaat serta kekuatan penalaran sebagai bagian dari matematika.